Gus Dur

41

tahu bahwa guyon ini tidak hanya dilakukan Gus Dur

pada dirinya, tapi juga pada orang-orang terdekat lainnya.

Namun, Gus Yahya Ketika itu tak bisa ketawa, dia hanya

bengong. Karena besarnya ketokohan Gus Dur, Gus Yahya

menaruh rasa hormat yang sangat tinggi kepadanya.

Sebaliknya, Gus Dur juga memberlakukan Gus

Yahya dengan sangat hormat. Dalam berkomunikasi Gus

Dur selalu menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.

Padahal, jenis Bahasa tersebut tidak umum digunakan di

Jawa Timur di mana Gus Dur berasal. Berbeda dengan

Gus Yahya, Kromo Inggil memang adalah bahasa sehari-

hari yang diterapkan di dalam keluarganya dan dijaga

dengan ketat secara turun-temurun. Gus Dur memanggil

Gus Yahya dengan panggilan panjanengan ketimbang

sampean. Padahal, secara umur, Gus Yahya dan Gus Dur

terpaut cukup jauh. Saat itu umur Gus Dur adalah sekitar

48 sampai 50 tahun dan satu generasi dengan pamannya.

Kemunculan ketokohan Gus Dur dalam NU paralel

dengan perkembangan Gus Yahya secara intelektual

sehingga sangat berpengaruh dalam cara pandang Gus

Yahya melihat NU, Islam, dan tatanan global. Ia mengaku

bahwa ayahnya dan kakeknya masih bagian dari Gerakan

Islamisme. Baginya, kehadiran Gus Dur memberikan

pencerahan bagi generasi muda dan kemudian pemikiran-

pemikiran Gus Dur tumbuh berkembang menjadi

mainstream bagi generasi muda NU. Pada tahun-tahun

terakhir di bangku SMA, nama Gus Dur sudah mulai

terngiang-ngiang di telinganya. Tawaran-tawaran Gus Dur

sangat kontras dengan pemikiran Islamisme. Apalagi Gus

Yahya sebelumnya sempat terpapar dengan pemikiran-

pemikiran garis keras yang bernuansa Islamisme.